Langsung ke konten utama

Media Sosial yang Nirsosial

Apakah kalian pernah menghitung berapa lama waktu yang sudah dihabiskan sepanjang hari hanya untuk membuka akun media sosial? Bagi orang yang sudah tercandu, hampir sebagian besar waktu luang dan bahkan waktu utamanya dipergunakan untuk menjelajah sudut-sudut dunia maya. Dunia yang tidak berujung. Dunia yang sangat menghanyutkan dan ingin kita selami hingga ke ujung terdalam.

Media sosial sejatinya dijadikan etalase sosial kita. Kita berusaha memamerkan apiknya sang surya tenggelam, harumnya segelas kopi di kedai papan atas, dan juga menterengnya helai kain yang kita kenakan. Kita ingin terlihat sempurna sambil berusaha mencari idola tiruan supaya jalur kesosialan kita semakin apik tertata.

Kita tidak peduli dengan sibuknya dunia nyata. Deru motor di jalanan pagi hari, derap langkah kaki di pinggir jalan, semuanya terelakkan dari kita. Kita sampai alpa bahwa kaki perlu bekerja sama dengan mata untuk sekadar menyusuri jalan. Semua perhatian hanya tercurahkan pada segenggam gawai pintar. Jari-jemari sibuk mempersolek media sosial kita. Satu tujuan pastinya, orang jadi terpukau dengan etalase kita. Kita pun menjadi nirsosial dalam dunia nyata. Waktu bersua dengan teman sejawatpun, tidak serta-merta mampu mengalihkan. Mungkin kenirsosialan kita sudah sedemikian parahnya. Atau kemampuan berpikir kita sudah terserap habis oleh sang gawai?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemasaran Berjenjang dan Fanatisme

Pemasaran berjenjang atau biasa dikenal khalayak umum dengan multilevel marketing erat kaitannya dengan fanatisme. Pemujaan terhadap suatu produk atau insan manusia bahkan sampai pengkultusan. Fanatisme erat kaitannya dengan pemujaan dan bahkan pengkultusan suatu hal. Orang memercayai setiap gerak-gerik hingga tindak tanduk seseorang yang dipuja, walau di mata logika semuanya semu belaka. Orang percaya khasiat suatu obat, hanya karena diiming-imingi mimpi kesehatan abadi yang tak melekat. Penganut paham ini tidak sadar bahwa tingkah laku mereka sama seperti golongan terbawah ( downline ) dari pemasaran berjenjang. Mereka dengan mudah diatur oleh petinggi-petinggi mereka ( upline ). Diatur sedemikian rupa hingga tidak sadar mereka hanya pion dan bukan pecatur. Fanatisme juga erat dengan ketidakmampuan memahami setiap jengkal pemikiran yang sesungguhnya beragam, tidak hanya selebar daun kelor. Kaum ini memaksakan kehendak bahwa paham, kepercayaan, agama, sikap politiknya paling